PatroliNews id,Maluku– Perjuangan untuk hak kesehatan dan layanan komprehensif bagi korban kekerasan seksual menjadi sorotan utama dalam diskusi publik memperingati Hari Perempuan Internasional yang berlangsung di Gedung PKK Provinsi Maluku, Jalan Tulukabessy Rijali, Ambon, pada Kamis (13/3/25). Acara yang dimulai pukul 15.00 WIT hingga waktu berbuka puasa ini menghadirkan berbagai pihak terkait, termasuk perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serta tenaga kesehatan.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Marcia Soumokil, MPH, selaku Executive Director Yayasan IPAS Indonesia, menegaskan bahwa lembaga yang ia pimpin berkomitmen memperjuangkan akses kesehatan bagi perempuan dan remaja perempuan di Indonesia.
“Jadi, Yayasan IPAS itu sebenarnya kependekan dari Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat Indonesia. Kami berdiri dan terdaftar di Kemenkumham sejak 2018 dengan fokus pada kesejahteraan serta kesehatan perempuan dan remaja perempuan. Meskipun tujuan utama kami untuk perempuan, kami juga bekerja dengan berbagai pihak, termasuk pasangan laki-laki, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, dan tenaga kesehatan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa diskusi ini merupakan bagian dari peringatan Hari Perempuan Internasional yang secara global dirayakan setiap 8 Maret. IPAS juga menggelar program serupa di berbagai daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, hingga Jakarta.
“Ini momen penting untuk mengingat dan merayakan pencapaian perempuan, terutama di Maluku. Christina Martha Tiahahu, misalnya, adalah sosok perempuan hebat yang layak kita peringati. Selain itu, pertemuan hari ini menjadi kesempatan emas bagi berbagai pihak untuk duduk bersama membahas tantangan di lapangan, khususnya terkait layanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual,” tambahnya.
Ia menyoroti hambatan struktural dalam layanan kesehatan bagi korban kekerasan berbasis gender, termasuk kendala biaya visum yang tidak ditanggung BPJS serta pedoman layanan yang baru ada sejak 2021.
“Kami berharap adanya model layanan rujukan yang jelas dari tingkat Puskesmas hingga rumah sakit provinsi, sehingga korban kekerasan seksual bisa mendapatkan layanan yang berkualitas. Apalagi, program Arumbai yang akan berjalan selama empat tahun ini bisa menjadi model yang dapat direplikasi ke wilayah lain,” tandasnya.
Dinas Kesehatan Maluku: Layanan Sudah Ada, Kesadaran Masyarakat Masih Rendah
Dalam sesi pemaparan selanjutnya, Daud Samal, SKM, selaku Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, menyampaikan bahwa pihaknya telah memiliki program layanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual. Namun, tantangan terbesar justru terletak pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami.
“Saat ini, hanya 36% Puskesmas di Maluku yang melaporkan adanya kasus kekerasan seksual. Dari total 241 Puskesmas yang ada, kami siap memberikan layanan komprehensif, tetapi pertanyaannya: apakah masyarakat mau melapor?” katanya.
Menurutnya, kehadiran Yayasan IPAS dan diskusi ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak korban untuk datang ke Puskesmas dan mendapatkan layanan yang mereka butuhkan.
“Kami juga masih menunggu arahan terkait efisiensi anggaran. Jika memang ada revisi kebijakan terkait pembiayaan visum atau layanan lainnya, maka perubahan itu harus diusulkan bersama oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta organisasi yang peduli terhadap isu kekerasan seksual,” tambahnya.
Kolaborasi Semua Pihak Diharapkan Dorong Perubahan
Diskusi publik ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, rumah sakit, kepolisian, serta organisasi masyarakat sipil. Hadir pula perwakilan dari Kabupaten Maluku Tengah, yang akan menjadi lokasi percontohan (pilot project) bagi implementasi program IPAS di Maluku.
Peserta diskusi menyoroti pentingnya sistem rujukan yang lebih jelas, terutama di wilayah kepulauan yang memiliki tantangan geografis dalam akses layanan kesehatan. Selain itu, ada usulan agar pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk menanggung biaya visum bagi korban kekerasan seksual, agar mereka tidak terbebani dalam mencari keadilan.
Dengan adanya diskusi ini, diharapkan langkah konkret segera diambil untuk memastikan hak-hak perempuan, khususnya korban kekerasan seksual, dapat terpenuhi dengan lebih baik di Maluku.