Nono Sampono dan Kadishut Maluku Haikal Baadilla : Dorong Regulasi Tegas demi Hutan Adat yang Berkeadilan

banner 468x60

Loading

PatroliNews.id, Ambon – Konflik berkepanjangan terkait klaim ulayat atas kawasan hutan di Maluku terus menjadi tantangan serius. Ketidakjelasan regulasi mengenai batas kepemilikan antara masyarakat adat dan negara kerap memicu ketegangan di lapangan.

Menyikapi hal ini, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. Nono Sampono, S.Pi., M.Si., melakukan kunjungan Kerja (Kunker) ke Dinas Kehutanan Provinsi Maluku pada Kamis (6/3/2025) di Ambon.

Dalam pertemuan tersebut, ia bersama Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Maluku, Haikal Baadilla, S.Hut., M.Si., menegaskan, pentingnya regulasi yang tegas guna mengakhiri konflik dan menciptakan keadilan bagi masyarakat hukum adat.

Haikal Baadilla mengungkapkan bahwa, pemerintah daerah dan DPRD Provinsi Maluku tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Regulasi ini diharapkan menjadi dasar hukum yang kokoh dalam mengakomodasi hak masyarakat adat atas kawasan hutan, sekaligus menekan potensi konflik dengan negara.

“Dinas Kehutanan Maluku telah mengidentifikasi berbagai permasalahan mendasar, dan klaim ulayat terhadap kawasan hutan menjadi isu sentral yang harus segera diselesaikan,” ujar Haikal dalam keterangannya, Kamis (6/3/2025).

Menurutnya, penyelesaian konflik ini tidak hanya sebatas pengakuan hak masyarakat adat, tetapi juga harus disertai dengan mekanisme pengelolaan hutan yang berkelanjutan agar ekosistem tetap terjaga.

“Harapannya, Pak Nono melalui DPD RI bisa menyuarakan aspirasi masyarakat adat terkait penguasaan hutan di Maluku, sehingga kebijakan di tingkat nasional juga mendukung upaya ini,” tambahnya.

Nono Sampono: Hutan Maluku Harus Bebas dari Konflik!

Dr. Nono Sampono menegaskan bahwa, ketiadaan regulasi yang jelas mengenai batas kepemilikan antara wilayah adat dan negara menjadi pemicu utama konflik yang terus berulang. Oleh karena itu, perlu ada aturan yang tegas dan berpihak pada masyarakat adat agar kepemilikan hutan tidak lagi menjadi polemik.

“Peraturan Presiden sudah mengamanatkan bahwa, kepentingan masyarakat adat harus diakomodasi dalam Perda. Tanpa regulasi ini, kepemilikan hutan akan terus menjadi sumber konflik yang berkepanjangan,” tegas Nono.

Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya sistem zonasi hutan yang membedakan antara hutan lindung, hutan produksi, dan hutan adat. Dengan adanya sistem ini, pengelolaan hutan dapat dilakukan secara lebih adil, berkelanjutan, dan berbasis kepentingan masyarakat adat serta pelestarian lingkungan.

“Hutan Maluku tidak boleh menjadi arena konflik. Kita harus memiliki regulasi yang mampu memberikan kejelasan, bukan hanya dalam aspek kepemilikan, tetapi juga dalam tata kelola hutan yang baik,” tambahnya.

Regulasi, Zonasi, dan Keterlibatan Masyarakat: Kunci Penyelesaian Konflik

Baik Nono Sampono maupun Haikal Baadilla sepakat bahwa, penyelesaian konflik ini harus didasarkan pada tiga pilar utama:
Regulasi yang kuat untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat.
Pemetaan ulang kawasan hutan guna memastikan batas yang jelas antara hutan adat dan hutan negara.
Keterlibatan aktif masyarakat adat dalam pengelolaan hutan agar keseimbangan antara hak, ekonomi, dan ekologi tetap terjaga.

Dalam Pertemuan tersebut, Nono Sampono maupun Haikal Baadilla berharap, dengan adanya regulasi yang tepat, konflik antara masyarakat adat dan negara terkait hutan di Maluku dapat segera berakhir. Lebih dari itu, hutan Maluku yang kaya akan biodiversitas tetap terjaga sebagai paru-paru dunia dan sumber kehidupan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60